Friday, November 14, 2008

Pendidikan Multikultural sebuah jawab atau ??



“Dari Sabang sampai Merauke berjajar pulau-pulau sambung menyambung menjadi satu itulah Indonesia” kutipan lagu tersebut tidaklah asing lagi bagi kita. Dari lagu tersebut dapat kita lihat dan juga harus kita sadari bahwa Negara kita merupakan sebuah negara yang terdiri dari banyak pulau. Sekitar 17.500 pulau membentang dari Timur hingga ke Barat, dan juga lebih dari 222 juta jumlah penduduk yang berada di negara ini. Seperti yang kita ketahui bahwa Indonesia juga merupakan negara yang mempunyai banyak kebudayaan, suku, agama. Melihat keadaan ini harus kita akui bahwa negara ini merupakan sebuah negara yang rawan akan terjadinya konflik horinsontal.

Berbicara tentang konflik, selama 63 tahun merdeka, bangsa ini belum berhenti dalam kecemasan akan perpecahan. Setelah kemerdekaannya sering kali terjadi ancaman akan perpecahan contohnya lahirnya gerakan DI/TII, lahirnya gerakan Papua Merdeka ataupun lahirnya RMS. Ancaman perpecahan tidak hanya terjadi karena lahirnya gerakan pemberontakan akan tetapi juga pertikaian antar suku, ras, agama bahkan lebel partai politik. Seperti yang dapat kita ingat yang terjadi di Kalimantan dimana suku Dayak berkonflik dengan suku Madura atau di Poso yang ditenggarai melibatkan dua kelompok agama yaitu Islam dan Kristen.



Melihat realita ini anehkah bila kita bertanya “Apakah negara ini pernah belajar dari sejarah?” sejarah telah mengisahkan bahwa pada tahun 1928 telah terjadi kesadaran bahwa negara ini merupakan negara yang bhineka dimana terlihat dalam semangat Sumpah Pemuda. Dalam sumpah tersebut tergagas ide bahwa perjuangan untuk mencapai kemerdekaan tidak hanya berasal ataupun bersemangat kelompok atau golongan semata tetapi harus lebih dari itu yaitu berdasarkan semangat keIndonesiaan. Kemerdekaan untuk dan harus diperjuangkan oleh seluruh warga negara bangsa ini. Sejarah juga mencatat bahwa negara ini pernah berada pada kesadaran yang tinggi akan keberagaman ada di negeri ini dalam pengesahan Pancasila (bukannya piagam jakarta) sebagai landasan negara ini dan juga tercantumnya ‘bhineka tunggal ika’ dalam lambang negara ini.

Melihat kondisi ini, penulis bertanya adakah yang salah dari kebijakan politik negara kita ini? ataukah ada yang salah dari sistem pendidikan yang kita punyai selama ini? ataukah pendidikan kita semakin menutup mata akan realitas yang terjadi pada negara ini dimana sering kali kekerasan muncul karena tidak atau kurangnya kesadaran akan kebhinekaan yang ada didalam negeri ini.

Bhineka Tunggal Ika tidak hanya menawarkan sebuah konsep kesatuan tetapi juga menawarkan konsep untuk merayakan, menyadari perbedaan yang ada. Bukan hanya kesadaran bahwa Indonesia ini harus bersatu tetapi juga melihat bahwa negeri ini akan semakin rapuh disaat hanya memfokuskan diri pada persatuan tanpa menyadari bahwa perbedaan tetaplah perbedaan yang harus terus mendapatkan ruang untuk merayakannya. Karena harus disadari bahwa sejak dari negeri ini merupakan sebuah hasil dari kemajemukan itu sendiri.

Lalu apakah hanya ini tantangan negeri ini dalam menghadapi keragaman setiap wilayahnya? Ternyata tidak, gerakan globalisasi akan semakin merangsek kedalam jantung negeri ini. Dimana Indonesia tidak hanya berhadapan secara langsung dengan kebhinekaan yang dimilikinya tetapi juga harus berhadapan langsung pula dengan kebudayaan baru yang ‘asing’, berbeda berasal dari negeri seberang.



Lalu apa jawaban dari problema yang kita hadapi ini? Pendidikan Multikultural adalah salah satu pelepas dahaga kita dari rasa haus dari kebingungan ini. Pendidikan multikultural merupakan sebuah tuntutan yang tidak dapat kita tawar-tawar lagi dalam membangun Indonesia baru dalam menjawab semua permasalahan yang telah dan akan dihadapi Indonesia di masa depan. Tetapi mengapa Pendidikan Multikultural jawabannya?? Harus disadari gerak peradaban manusia selalu beriringan dengan pendidikan, dimana gerak budaya dan gerak pendidikan sering kali berjalan bersamaan. Oleh karena itu persiapan untuk menyambut dunia yang semakin mengglobal dan mempersiapkan generasi Indonesia Baru harus dimulai melalui pendidikan, akan tetapi bukan sekedar pendidikan yang ‘biasa’ saja sebagai jawaban akan tantangan Indonesia dewasa ini dan akan datang melainkan pendidikan yang berbasis multikultaralisme yang menjadi alat untuk menjawab tantangan manusia Indonesia masa depan dalam menjalani hidupnya sebagai warga Indonesia yang berbhineka tetapi juga dalam menjawab tantangan sebagai masyarakat global.

Friday, March 21, 2008

Gila udah lama ini blog gue ga sentuh

ternyata hampir ada 4 bulan blog gue ga sentuh sama sekali. kesibukan ternyata membuat aktifitas menulis diblog ini agak tersendat, padahal banyak unek2 banyak wacana yang dapat ditulis, taapi karena upaya untuk memenuhi kebutuhan hidup jadi semua ini tersendat ehehehe. tapi gue akan bangkit dan menulis lagi, sekali mencari masukan dan penambahan wacana untuk skripsi.....

Sunday, January 6, 2008

POSSESSIVENESS

Possessiveness
LearningLove.com
Copyright (c) 1999 by Benjamin Devey. All rights reserved.

Possession is 9/10ths of the law ... or is it? How many popular songs and movies have been about possession, rather than love? The airwaves are constantly filled with themes like "My Girl," and "You belong to me."

In marriage we share a common bond, a togetherness, but it isn't a quit-claim deed or a property title. It's more like a joint-stewardship to take care of and nurture the relationship with our fondest hopes and attentions.

"Let there be spaces in your togetherness," writes Kahlil Gibran, "And let the winds of the heavens dance between you. Love one another, but make not a bond of love: Let it rather be a moving sea between the shores of your souls .... Give your hearts, but not into each other's keeping" (from The Prophet).

The idea of ownership of another human spirit goes contrary to principles of truth. Even in marriage, possessiveness imbues relationships with dysfunction and abuse, rather than the life-giving nurturing needed for love.

Possession is a form of domination and control, stemming from selfishness. The possessor manipulates objects and others for his own purposes. Many issues of abuse come from co-dependent relationships, where one person feels the need to control the other. It's a lot like closed a fist, trying to keep a butterfly from flying away.

Love is on the opposite end of the spectrum, like an open hand, letting the miracle of nature rest undisturbed. When you truly love someone, you would never consider confining him or her to a cage. You would wish the universe for their room for expansion. One who loves respects the uniqueness of the other and does not abridge their lover's individual will.

Trust is vital to love. When two individuals build mutual faith in each other, they become emotionally free to give and receive love. In mature relationships, individuals don't own each other. They each give to the other an offering of all their love.

We are not even our own. Paul said, "Your body is the temple of the Holy Ghost ... ye are not your own, for we are all bought with a price." He elaborates further, that wives and husbands have no power over their own bodies, but share the responsibility to take care of each other.

Love that is genuine seeks to ennoble, uplift, support, strengthen, edify, honor and to cherish. True love is never taken--it can only be given. You never own another. You can only give your own heart. Love, in its purest form, is the complete sharing of hearts.


http://www.geocities.com/brianhart.geo/possess.html